Alunan Mimpi

Alunan Mimpi
Alunan Mimpi
oleh : Swara Neptunus


Bulan tampak seperti biasanya, namun berbeda dengan langit yang sedari tadi menggigil keras karena angin berhembus sangat kencang. Langit pun tampak kesepian tak seperti biasanya yang ditemani oleh bintang-bintang yang gemerlapan. Rintikan hujan pun terdengar seperti alunan musik yang sangat merdu memecahkan malam yang sangat sunyi ini. Tapi angan masih setia menemani dalam harap dan ucap. Begitu pun cita dimulai dari sekarang. Ini yang dirasakan oleh Putra. Putra adalah seorang lelaki dengan paras polos, sederhana dan apa adanya. Hal yang tak disangka-sangka membuat Putra mendapatkan durian runtuh. Keinginan yang selama ini dikubur dalam-dalam terbuka lagi oleh kesempatan baru. 

 “Selamat Anda Diterima di Perusahaan Ini” 

Kata itu adalah kata yang tak pernah dibayangkannya selama ini. Beberapa pekerjaan yang telah diimpikannya pernah sirna di waktu dulu. Tapi bagaimana lagi, ternyata takdir berkata lain dia diterima di perusahaan dengan posisi yang diinginkan selama ini. Putra menginginkan bekerja di sebuah perusahaan kantoran dengan kualifikasi pendidikan yang selama ini digeluti. Selama empat tahun lamanya, ia menggeluti dunia komputer. Dunia yang membawa dia pada suatu titik kepercayaan yang mendalam. Penuh cita, penuh angan, dan penuh mimpi.

Namun, Putra merasa sangat bingung dengan posisi yang ia jalani selama ini. Dilematis antara melepas pekerjaan yang ia tekuni atau menerima pekerjaan yang diinginkan. Putra bekerja sebagai pendidik di sekolah swasta. Setiap hari ia berangkat dari matahari sudah bersinar hingga matahari setengah menuju kegelapan, dari pukul 07.00 hingga pukul 15.00. Ia berniat dalam hati untuk membagi ilmu kepada siswa-siswanya. Karena ia percaya bahwa ilmu tak akan habis ketika dibagi. Hari demi hari dilewati. Manis, canda, tawa, suka, dan duka sudah bergelut mesra dalam dirinya dengan anak didiknya. Ia tak kan mampu melepaskan semua kenang yang menjadi kenangan. Bahkan segala mimpi anak didiknya yang menjadi mimpinya.

“Pak, mengapa jenengan (panggilan unggah-ungguh jawa) melamun?” kata Bu Ratri pada dirinya yang sedari tadi melihat dia bermuka kusut dengan penuh pikiran. 

Bu Ratri adalah teman sekantor Putra. 

“Hanya ada yang dipikirkan Bu, tapi tidak apa-apa kok,” kata Putra sambil mencoba untuk tersenyum tipis menyembunyikan sesuatu.

Senyumannya sangat terlihat jelas dari lesung pipi dan wajahnya yang menyimpan sebuah problematika.  

Meskipun di suatu titik kebingungan yang hakiki. Putra tetap enjoy dalam menghadapi siswa-siswanya. Tapi, ia tetap tidak bisa menyembunyikannya itu dari wajahnya yang sedari tadi bermuram durja.

Jam berdentang lebih keras tak seperti biasanya. Bel pun berbunyi. Tanpa paksaan semua siswa kemudian berlarian ke luar kelas dan menuju ke arah parkiran untuk pulang. Tapi tidak dengan Putra. Ia tetap masih pada kebingungan yang hakiki itu. Ke sana ke mari seperti orang linglung. Memang kabar pekerjaan yang dia terima adalah idamannya selama ini. Tapi dia juga berat hati meninggalkan pekerjaan yang ditekuninya selama ini.

Tak lama kemudian, ia pamit kepada seluruh pendidik yang ada di kantor untuk pulang ke rumah. Sudah menjadi rutinitas sebelum masuk kerja dan sepulang kerja pastilah mereka saling bersalam-salaman. Hal itu untuk merekatkan hubungan kekeluargaan di dalam suatu instansinya.
Sebelum menuju ke parkiran sepeda motor, pastilah dia sudah siap dengan jaket bergaya trendynya dengan slayer hitam kesukaannya. Sambil menggunakan helm dan sebelum menyetater sepeda motor ia senyum dengan orang di sekitarnya. Bisa terbilang Putra adalah guru yang masih muda dan ramah dengan siapa pun. Akhirnya, motor melaju dengan kencangnya. Butuh waktu setengah jam untuk sampai ke rumahnya. Sesampainya di rumah, tak tanggung-tanggung Putra selalu menyantap makanan yang telah disajikan ibunya di meja makan. 
---

Malam tetap malam, kebingungan pun semakin menjadi-jadi. Ia merenung di depan teras rumah dengan ditemani kopi anget dan sepotong kue manis berbalut cokelat. 
“Ya Allah, apa yang harus aku lakukan?” Putra bergumam dalam hati. Ia melihat ke atas sambil melihat bintang-bintang yang tetap bersinar di langit. Bintang itu sebenarnya selalu setia pada langit. Meskipun terang, mendung dan hujan. Ketika terang bintang selalu berkilauan, ketika mendung bahkan hujan bintang pura-pura menyembunyikan tubuhnya di balik awan yang gelap. 

Putra kemudian mendapatkan suatu makna bahwa mengajar itu bukan selalu jasad di sana. Tapi mengajar bisa saja dengan cara yang berbeda yang tak harus menyetiakan jasad dalam suatu ruang itu. Putra pun sangat berpegang teguh pada prinsip. Kesempatan tak akan datang kedua kali. Tapi ketika ia berniat berusaha pasti akan bisa menyelesaikannya. Tak ada sesuatu di dunia ini yang tidak mungkin, meskipun sudah jatuh berkali-kali, proses bangkit itu selalu ada. Air hujan aja jatuh berkali-kali tak pernah merasa sakit sedikitpun, malah ia merasa bahagia sudah membuat orang berbahagia.

“Le, kenapa kamu kok dari tadi Bapak perhatikan kelihatan bingung?”kata Bapaknya Putra sambil menepuk pundaknya. Membuat Putra terbangun dari lamunannya.

“Pak, saya diterima kerja yang selama ini menjadi impian saya. Tetapi bingung untuk mengambilnya atau tidak?” jawab Putra dengan nada pelan tetap konsisten pada kebingungannya.

“Bapak percaya sama kamu, bapak selalu mendukung apa yang kamu cita-citakan. Apabila memang dirasa pekerjaan itu baik menurutmu. Bapak hanya bisa mendoakan yang terbaik untukmu di mana pun berada. Kamu sudah dewasa bisa menentukan mana yang baik untukmu dan yang tidak baik untukmu” pesan Bapak Putra mengakhiri malam.
Putra mulai melangkahkan kakinya menuju kamar tempat tidurnya. Pikirannya dibolak-balik, ditimbang-timbang. Akhirnya keputusan itu final.
“Oke, saya menerima pekerjaan itu dengan segala konsekuen yang ada. Bismillah...”(sambil mengambil napas panjang dan ditariklah selimut kemudian terlelap dalam mimpi)
---

Kicauan burung berdendang kecil, jalan masih terlihat lenggang. Para pekerja mulai berjalan menuju ke tempat kerjanya. Begitu pun, beberapa siswa sudah berbaris rapi di pinggir jalan untuk menanti datangnya bis. Putra mengendarai sepeda motornya dengan santai. Ia sudah mempunyai keputusan bulat untuk menggapai cita-citanya yang terkubur bisa diraih kembali. Sesampainya di sekolah ia langsung mengutarakan keinginannya kepada pimpinan di sekolah. 

“Lho, kok mendadak begini, Pak?” tanya Bu Reisya penuh dengan tanda tanya.
“Iya bu, maaf kalau memang mendadak. Maaf hanya bisa membantu sampai di sini saja. Harapan saya sekolah ini menjadi lebih baik lagi” dengan nada pelan Putra menjawabnya.
“Baik, kalau memang itu keputusannya Bapak. Kita pasti akan menerima. Semoga ke depannya tambah sukses dan lancar” kata Bu Reisya dengan sangat bijaksana.
Kabar demi kabar telah terdengar bersahut-sahutan dan tibalah saatnya waktu untuk berpamitan meninggalkan sekolah tercinta itu. Demi menggapai cita-citanya yang selama ini terkubur rapi. 
“Maafkan saya apabila ada banyak salah. Terima kasih kepada teman-teman semua” kata Putra kepada semua guru di sekolah itu dengan suara lirih. Tak lupa, Putra meninggalkan pesan kepada anak didiknya tercinta bahwa 
“Belajar tidak hanya bertatap muka dan berkutat pada satu ruang saja. Selain itu, Janganlah berhenti untuk belajar dan nikmatilah setiap proses yang ada.”

Perkataan tersebut membuatnya meneteskan air mata dalam hatinya. Perasaan yang campur aduk membuat dia semakin sedih meninggalkan jejak kakinya di sekolah itu. Rasa haru biru menyelimutinya. Akhirnya diiringi dengan bermaaf-maafan kepada semua temannya. Dan di situlah Putra tak mengerti apakah hari itu bahagia. Meski demikian, ia tetap teguh pada pendiriannya. Bahwa apa yang sudah menjadi keputusan akan selalu ditepati, akan selalu dijalani dan akan selalu disemogakan. 
---

Nasi telah menjadi bubur, kini Putra sudah meninggalkan cerita demi cerita di sekolah tercintanya. Pengabdian, pemahaman, kisah, dan kasih sudah tak ada lagi. Tepat, pukul 7 malam Putra menekadkan niat menuju ke kota metropolitan untuk mengadu nasib. Diiringi rintik hujan turun dia mencium kedua orang tuanya, berpelukan dengan kakak tercinta dan ponakan tersayangnya. Ini mungkin bukan sebuah perpisahan tapi perjalanan awal meraih sebuah cita di kota orang. Putra selalu memegang teguh perkataan Bapaknya, “Meskipun nanti kau jadi apa-apa, merendahlah adalah cara yang terbaik. Karena di atas langit-masih ada langit.” Derai air mata tak mampu ditahan oleh sang ibu dan kakaknya. Isak tangisnya dalam pelan merelakan kepergiannya. Ibunya berkata mengakhiri perjumpaannya,” Hati-hati ya le, jangan lupa sholatnya.” Putra hanya menggangguk pelan dan berpura-pura tersenyum meski hati bercampur aduk.

Malam menjadi saksi bisu perjalanan menuju ke kota orang. Lambaian tangan dan tetesan air mata dalam hati mulai jatuh tak terbendung. Putra duduk dibelakang sopir bus malam (bus yang menuju ke arah Jakarta). Suara yang sunyi, senyap, gelap menambah kesedihan dirinya. Dalam hati bertanya, “Benarkah aku melakukan ini? Apakah nanti aku akan betah tinggal di sana? Apa bagaimana?”  segalanya masih menjadi suatu misteri. Bus yang ditumpangi Putra berjalan dengan begitu cepatnya. Maklumlah bus malam, bukan hal biasa untuk itu. Dalam hati kecilnya berbisik “Kamu harus optimis! Ini impianmu selama ini. Coba buktikan bahwa kamu benar-benar bisa diandalkan.”
---

Mentari menyambut dengan hangat, kota metropolitan menyambut dengan kegirangannya. Banyak orang berbondong-bondong untuk mencari sesuap nasi di kota itu. Layaknya dengan Putra yang menggapai cita di Kota orang. Kerjasama telah dilakukan dan ia sekarang sah menjadi karyawan perusahaan. Kawan baru, pengalaman baru mulai didapatkannya. 

Hari demi hari kian dirasa. Teringat keluarga di rumah pasti itu. Ia berusaha kuat, tapi hati berkata lain. Kerinduan yang amat sangat dalam membuat dirinya ingin segera mengakhiri pekerjaan itu. Namun, bagaimana lagi ia sudah terjun dalam pekerjaan itu. Tak sepantasnya langsung pergi begitu saja. Tapi ini tentang hati lagi, bagaimana mungkin ketika kerinduan itu datang terus menghampiri tapi ia tetap mengelaknya. Sebisa mungkin, dienyahkanlah pikirannya itu dan tetap fokus pada pendiriannya. “aku di sini menggapai cita.” Namun di hatinya tetap berkata, ”Aku rindu keluarga, Aku ingin pulang.” Pikiran itu dibolak-balik dibolak balik. Berhari-hari, tetap saja ia tidak bisa menahan rindu dengan keluarga. 

Akhirnya, sore itu, tepat menjelang matahari tenggelam, ia pulang dengan membawa kerinduan di hati. Sebelumnya, ia berpamit  untuk tidak melanjutkan pekerjaan itu. Kini, Putra percaya, sesuatu yang sudah dimiliki saat ini harus disyukuri. Hidup bukan berkara mencari limpahan tahta dan harta, melainkan soal kenyaman jiwa dan raga.  

-selesai-

1 Komentar untuk "Alunan Mimpi"

  1. numpang share ya min ^^
    bosan tidak tahu harus mengerjakan apa ^^
    daripada begong saja, ayo segera bergabung dengan kami di
    F*A*N*S*P*O*K*E*R cara bermainnya gampang kok hanya dengan minimal deposit 10.000
    ayo tunggu apa lagi buruan daftar di agen kami ^^
    || WA : +855964283802 || LINE : +855964283802 ||

    BalasHapus

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel