Cinta Botak Selalu Masa SMA Balikan Yuk
Masa SMA
Balikan Yuk!
Oleh Puji Purwanti
Setelah putus dengan Reza, mantan pertamaku, yaa kira-kira sudah setahun sejak aku memutuskannya, kini aku masih berani ngajakin dia ngobrol lewat WhatsApp. Entah itu sekedar membahas hal-hal yang nggak jelas, ngomongin soal pramuka, bahkan tanpa rasa sungkan aku mengajak dia membahas hubungan kami yang memang sudah berakhir itu. Untungnya aku dan Reza beda sekolahan, aku anak SMA, sedangkan dia anak SMK. Dia dulu nembak aku waktu kami sama-sama masih kelas 10 semester 2, kira-kira Bulan Mei, tapi aku lupa tanggal berapa. Bahkan tanggal lahirku saja kadang aku lupa, apalagi mengingat waktu jadian, fyuhh. Jangan bilang aku gila atau semacamnya! Aku memang sulit mengingat angka atau tulisan. Aku malah paling sulit mengingat nama orang, terkadang orang-orang yang baru aku kenal selalu jengkel dengan yang satu itu, aku sering membolak-balikan nama.
Yang aku ingat saat aku pacaran dengan Reza dulu, aku malah lebih dulu dekat dengan anak Kebumen, namanya Dewa. Lumayan keren namanya, Jenifer Dewadi Putra. Tapi orangnya yaa nggak seganteng namanya, hitam manis, lah. Dan nilai plusnya buat Dewa adalah dia itu tinggi, cocok banget jadi temen ngobrolku, dia juga asik banget kalau diajak diskusi tentang pelajaran, organisasi, selalu buat aku nyaman pokoknya. Bahkan saat aku mutusin Reza dulu, aku sampai menjadikan Dewa sebagai alasannya. Padahal sebenarnya nggak gitu juga, sih. Kalau aku disuruh milih Reza dengan Dewa, oh jelas aku memilih Reza. Meskipun Reza itu nggak asik kalau diajak ngobrol, orangnya cuek, nggak ada manis-manisnya sama sekali dalam bersikap. Aku sendiri juga tidak tahu kenapa aku begitu suka dengan Reza.
“Gian Helniar!” teriak seseorang dari depanku yang menurutku suaranya sudah tak asing lagi bagiku. Ternyata yang memanggilku Bu Kinar, guru bertubuh gempal bak ikan buntal yang lebih terlihat mengerikan lagi ketika mengajar fisika itu kelihatannya sudah siap memangsaku. “Gian, keluar dari kelas saya sekarang!” bentak Bu Kinar. Tentu saja aku dengan tampang santai dan tak lupa nyengir kuda berlalu keluar kelas. Sungguh nikmat dari Tuhan bisa bebas dari kelas fisika, wkwkwk.
Aku terus berjalan menyusuri lorong-lorong kelas. Tujuanku yang pasti ke basecamp, kantin cuy. “Buk Him, saya pesan mie ayam, kentang goreng dan jus wortelnya 2 gelas. Nanti tolong bawa ke meja ujung sana, nomor 34, ya,” kataku pada ibu kantin. Aku memilih duduk di kursi paling pojok. Tempatnya jomblo memang di pojok, diasingkan, hiks. Daripada aku gelisah nunggu pesanan, mending aku buka gangguin Mas Mantan aja, hehehe. Tiba-tiba dalam pikiranku terlintas ide untuk balikan sama mantan. Tapi masa cewek yang ngajak balikan? Aishh bodoamat! Eneng udah terlanjur cinta sekonyong-konyong koder ini. Kurogoh saku dari rokku untuk mengambil ponselku. Aku bingung harus mulai darimana untuk melancarkan rencana balikanku. Aku paling tidak bisa untuk diajak basa-basi.
Sial, Mamas Botakku malah mengacuhkanku, huwaaa. Dulu aja manggil aku sayang, dia juga yang lebih cerewet. Pernah juga aku ngajak Reza ketemuan tapi dia malah batalin gara-gara bola. Jadi posisiku sudah tergantikan oleh bola. Sampai-sampai kalau malam Minggu, si Reza juga kencannya sama bola. Gila! Potongan rambutnya yang cepak plontos bikin dia jadi semakin mirip bola karena otaknya yang isinya cuman bola, bola, dan gue, eh, maaf keliru, jadi intinya otaknya cuman dipenuhin sama bola. Atau jangan-jangan ntar si Reza juga kawinnya sama bola? Hiii, kog aku jadi ngeri sendiri ya. Padahal waktu itu aku udah nunggu Reza di perempatan sampai sore sampai kehujanan pula.
BRAKK, tiba-tiba ada yang menggebrak meja yang aku tempati. Seketika itu aku terkejut dan langsung jatuh. “Eh anjirr,” kataku spontan saat jatuh. Ternyata yang menggebrak meja tadi adalah kakak kelasku yang yaaa lumayan ganteng lah. Untung ganteng, kalau nggak udah gue cabik-cabik itu muka.
Aku tak langsung berdiri. Aku masih duduk lesehan di tempat akuk terjatuh tadi. Si Gio, kakak kelasku yang terkenal troublemaker itu menarikku cepat dan mendudukkanku di kursi tempat aku duduk tadi. Di menarik telapak tanganku dan melihat lenganku, semacam sedang memeriksa sesuatu. “Astaghfirullahalazim, ck, tangan loe lecet, Gi. Sorry ya, gue tadi cuman iseng, aduhh biar gue ambilin obat aja deh,” widihhh terkejyod ane, si belokokok satu ini bisa juga nyebut, kirain cuman dzikir ala gugug, wkwkwk.
“Eh nggak usah, cuman perlu dicuci aja ini, lagian gue takut sama obat merah,” cegahku tanpa adegan menarik tangannya biar nggak dikira kayak cewek-cewek lainnya yang memuja ketampanannya. Aku baru sadar kalau pesananku sudah tertata rapi di meja. Pasti si Gio yang membawanya tadi. Aku langsung meminum jus wortelku ala orang yang kehausan selama setahun. Sementara si Gio memandangku dengan tampang cengo. Iyaa aku tahu karena apa, jelas pasti dia heran dengan gaya minumku.
“Loe pesenin gue jus juga ya? Wah makasih saying,” kata Gio dan langsung mengambil jus wortel yang belum aku minum. Aku langsung menyerobot jusku kembali.
“Eh itu jus gue, sana pesen sendiri!” kataku galak.
“Bushett, loe kecil-kecil minumnya segentong,” ejek Gio padaku.
“Lah makanannya banyak gini minumnya ya harus lebih banyak, goblok,” kataku tak kalah sengit. Gio malah tertawa terbahak-bahak. Tumben, kelihatannya ada yang nggak beres. Biasanya kalau ada yang ngatain dia kayak gitu nih, dia pasti bakalan langsung nyekik lehernya orang yang barusan ngomongin dia. Lah tapi sekarang? Kog responnya malah kocak begini, ya. Yaa walaupun sebenarnya aku dan Gio lumayan dekat kalau di whatsapp. Kami sering chattan, bahasnya ya curhat-curhatan, ejek-ejekan, banyak deh pokoknya. Tapi baru sekarang aku ngobrol sama dia. Kami jadi dekat karena dulu kami pernah ikut mendaki gunung yang diadakan oleh sekolahan. Dan kebetulan waktu itu asmaku kambuh saat aku kedinginan, dan si Gio yang nolongin aku, masa dia meluk aku, ihh aku jadi gimana gitu, jadi geli kalau inget-inget. Mau tahu rasanya dipeluk si Gio? Yang pasti anget-anget gimana gitu, apalagi tangannya dia kekar karena ngegym hampir setiap hari.
“Eh iya, loe ngapain di sini?” Tanya Gio.
“Diusir sama Nyonya Puff karena tidur di kelas,” jawabku santai tanpa ada beban. “Nah kalau loe kenapa nggak di kelas?” tanyaku.
“Yang jelas nggak kayak loe, gue kan murid teladhan,” katanya bangga seraya menepuk-nepuk dadanya yang pasti keras karena kentara sekali sampai terdengar tepukannya.
“Halah, loe juga sekaum, sebangsa dan setanah air sama gue,” bantahku.
“Oh iya, apa kabar sama Mamas Botak loe itu?” tanyanya tiba-tiba.
“Masih nggak jelas si kamprett satu itu,” jawabku lesu.
“Besok gue akan undang dia di hari ulang tahun gue, kebetulan sebenarnya dia masih sodara jauh sama gue. Ternyata dia anaknya Tante Yora, sepupunya bokap gue,” jelas Gio.
“Terus?” tanyaku kepo.
“Kepo loe, serahin aja sama si ganteng dari Surga ini,” sumpahh jijik aku menyaksikan langsung sisi lain dari Gio, padahal biasanya dia selalu terlihat cool di depan orang-orang.
Setelah obrolan gila antara aku dan Gio di kantin itu, ternyata si Gio beneran menepati omongannya. 2 hari setelah itu, Gio benar-benar mengadakan pesta topeng untuk merayakan ulang tahunnya yang ke-18. Dan hebatnya lagi dia benar-benar mengundang Gio. Malahan aku adalah satu-satunya adik kelas yang diundang Gio. Waduhh, firasatku sudah tidak karuan, pasti ujung-ujungnya adalah petaka. Setelah ini pasti fans-fans fanatiknya Gio yang seangkatan dengannya bakalan nglabrak aku di sekolahan, tapi santeee, si Gian ini pemberani oehh.
Ohiya, malam ini, di pesta ulang tahunnya Gio, aku mengenakan gaun hitam 10 cm dibawah lutut dan berlengan panjang. Aku juga memakai kalung manik-manik putih mirip mutiara agar sedikit ada kesan elegant. Rambutku yang hanya sebahu ku gelung dan ku beri sedikit hiasan bunga putih. aku memilih memakai sepatu kets karena memang aku lebih nyaman memakainya.
“Gian!” teriak Gio dari seberang sana. Aku berjalan menghampiri Gio yang sedang bersama dengan keluarganya. Aku melihat seorang wanita yang seumuran dengan ibuku memakai gaun hitam sedikit panjang di bawah lutut. Rambutnya yang panjang bergelombang di gelung, terlihat begitu anggun. Wajahnya tak asing lagi bagiku, tapi aku lupa entah itu siapa.
Aku yang sudah tiba di hadapan Gio dan keluarganya menyapa Gio dan tak lupa mengecup tangan papa dan mamanya. Orangtua Gio kelihatannya sangat ramah. Aku juga turut menyalami wanita bergaun hitam tadi. “Lhoo, ini kan Gian, teman sekelasnya Reza waktu kelas 9 dulu, ya?” tebak tante itu. Taraa, jangan-jangan tante cantik ini calon mertuaku ya? Eh mamanya Reza maksudku. Yaa itu sih kalau si Reza mau balikan lagi, fyuhhh. “Eh, i iya, tante,” jawabku kagok.
“Haduhh mbak, ini itu Gian yang pernah aku ceritain ke mbak. Itu loh, yang dulu di SMPnya juara 1 terus. Dan Gian juga yang sudah membuat Reza jadi semangat belajar lagi sampai jadi peringkat 3 terus di kelas,” cerita mamanya Reza pada mamanya Gio.
“Oh iya? Gio juga sering cerita kalau Gian ini yang jadi inspirasinya Gio buat lagu,” kata mamanya Gio.
“Wahh, kayaknya bakalan ada yang saingan menangin nak Gian ini,” timpal papanya Gio sambil terkekeh. Sementara aku dan Gio jadi senyum-senyum malu.
Kemudian musik dansa dibunyikan, Gio menarikku di tengah-tengah tamu dan mengajakku berdansa. Ia memandangku penuh arti. Aku malah jadi ge’er mengira ia tertarik padaku. Sementara cewek-cewek yang mengitari kami memandangku tak suka seakan hendak mengulitiku detik ini juga.
“Reza baru datang, dia sedang menyapa mama, dan sekarang dia sedang melihatku denganmu,” kata Gio.
3 menit kemudian music berhenti. Gio menggandengku dan berjalan menghampiri orangtuanya yang di sana juga ada Reza. Mendadak tubuhku menjadi lemas. Aku jadi gugup, dadaku rasanya gemetaran.
Sesampainya aku dan Gio dihadapan orangtuanya, aku hanya diam melihat Gio yang menyapa Reza. Tiba-tiba lidahku jadi kelu. Aku hanya tersenyum melihat Reza, tak ada keberanian untuk menyapa Reza. Aku takut kalau sapaanku tak mendapat balasan darinya.
“Wahh, mama lihat kalian waktu dansa tadi seneng banget, deh, kelihatan serasi gitu. Mama jadi ingat dulu waktu prom night sama papa,” puji mamanya Gio dengan sumringah.
“Ehmm,” tiba-tiba Reza berdehem, “Heln, bisa ikut aku sebentar? Ada sesuatu yang harus kita bicarakan.” Haduh dek, baru diajak ngobrol berdua aja hatiku sudah meleleh. Dan untuk panggilan khususnya untukku, “Heln”, itu karena namaku lengkapku Giana Helniar. Dari dulu si Reza memang begitu, ia selalu ingin berbeda dari yang lain.
“Emm, saya izin keluar sebentar sama Reza,” pamitku pada Gio, orangtuanya, dan mamanya Reza.
Reza menggandengku keluar dari pesta. Sepanjang ia menggandengku saat berjalan tadi aku hanya melihat wajahnya yang terlihat sedang kesal. Aku sama sekali tak memeperhatikan jalanku sampai-sampai aku hampir jatuh menubruk sebuah kursi kayu panjang, untungnya ada Reza yang dengan sigap merengkuh kedua bahuku agar aku tidak terjatuh.
“Thanks,” ucapku padanya melihat penuh wajahnya, aku benar-benar tak bisa berpaling dari Mamas Botakku ini. Sudah lama aku tak berjumpa lagi dengan Reza sedekat ini semenjak kami lulus SMP. Baru ku sadari kalau aku dan Reza sudah berada di halaman samping rumahnya Gio yang penuh dengan warna-warni bunga dan lampu-lampu kuning yang melekat di bagian atas tembok tinggi bercat hitam yang membatasi rumah Gio.
“Jadi, kamu mau ngomong apa?” tanyaku to the point.
“Kamu pacaran sama Gio?” tanyanya menatapku serius.
“Hahaha, mana mungkin. Kamu tahu sendiri, kan, kalau aku nggak suka pacaran. Terus kalau aku sama Gio, Mamas Botakku ini mau dikemanain? Sia-sia dong usaha aku melet kamu,” jelasku sok manis.
“Oh, jadi kamu sebegitu cintanya sama aku, ya? Sampai bawa-bawa pelet segala,” ejeknya sambil menaik turunkan alisnya, iuhh ia menatapku dengan mengerlingkan matanya padaku seperti om-om mesum seperti di novel-novel yang ku baca di wattpad.
“Kalau seandainya kamu berani pacaran sama si Gio, aku bisa pastiin aku akan langsung ngomong ke Om Hanung,” katanya serius.
“Eh kog loe tahu bokap gue? Terus, emangnya loe berani?” aku memicingkan mata tak percaya pada Reza.
“Jelas, kan bapak mertua memang pelatihku di sekolah. Kamu lupa kalau mas botak ini anak pelayaran ?” jelasnya dengan tampang yang err menggiurkan untuk ku kunyah kepalanya.
“Jadi?” tanyaku mengisyaratkan kelanjutan hubunganku dengan Reza.
“Ya jadi kita pacaran lagi, dong,” jawabnya mantab. Aku yang terlalu bahagia berhambur memeluknya, tapi sayang, bahuku ditahan oleh Reza sehingga aku tak dapat memeluknya.
“Kayaknya kamu memang nafsu banget ya sama aku,” katanya datar. Aku yang merasa malu sekaligus merasa diejek langsung menjitak kepalanya dengan gemas.
“Aduh,” keluhnya sambil mengelus-elus kepala cepaknya.
Setelah berbincang-bincang tentang masa-masa SMP kami dulu, kami kembali ke dalam mengikuti pesta. Kami menghampiri Gio, orangtuanya dan mamanya Reza.
“Wahh, kasian Kak Gio. Jadi yang menang keluarga Adijaya, soalnya yang dapetin Gian si Reza, hahaha,” goda Om Haris, papanya Gio. Aku dan Reza hanya senyum malu-malu. Yeayy jadi aku nggak perlu lagi ngrengek-ngrengek pada Reza ngajak balikan. Dan aku jadi punya pasangan kondangan, wkwkwk.
numpang share ya min ^^
BalasHapusbosan tidak tahu harus mengerjakan apa ^^
daripada begong saja, ayo segera bergabung dengan kami di
F*A*N*S*P*O*K*E*R cara bermainnya gampang kok hanya dengan minimal deposit 10.000
ayo tunggu apa lagi buruan daftar di agen kami ^^
|| WA : +855964283802 || LINE : +855964283802 ||